“Kita bertahan, bukan karena semuanya baik-baik saja,” katanya, “tapi karena kita nggak mau saling pergi”
——-Sebab cinta saja tak cukup untuk mengusir dingin yang menetes dari langit-langit rumah sewa.
Rumah kontrakan itu kecil, nyaris seperti petak sempit yang dijepit waktu. Dindingnya tipis, kadang terdengar suara tetangga sebelah sedang bertengkar atau bayi menangis tengah malam. Genteng bocor di dua titik, satu di atas dapur, satu lagi di dekat kasur tipis mereka. Lantai semen yang dingin, tak ada sofa, hanya tikar usang yang dibeli di pasar loak. Jendela kayunya retak, dan hanya ada satu lampu gantung kuning yang remang-remang menerangi ruang tamu dan dapur sekaligus.
Di situlah mereka tinggal selepas menikah. Kontrakan tua milik Ustadz Malik yang disewakan murah—mungkin karena tahu siapa Badai.
Di sanalah Aira, perempuan yang semasa kecil biasa tidur di ranjang empuk dan sarapan dengan mahal, kini menggulung selimut tipis sambil menahan gigil. Malam pertama mereka sebagai suami istri tak dihiasi rembulan romantis atau angin sepoi-sepoi. Yang ada hanya atap bocor dan suara tikus yang berlari di loteng.
“Badai,” katanya pelan, “kenapa kamu nggak bilang tempatmu seperti ini?”
Badai menghela napas. Ia sedang menampung air hujan yang menetes dari lubang atap ke dalam baskom plastik.
“Aku takut kamu batal menikah kalau tahu semua kekuranganku.”
Aira tertawa, tapi getir. “Kamu lupa aku bukan menikahi rumahmu.”
Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu berdiri membantu. Tak banyak yang bisa dilakukan, tapi kehadirannya di samping Badai malam itu membuat ruang sempit itu terasa sedikit lebih luas.
⸻
Hari-hari selanjutnya pun tak lebih mudah. Pagi, Badai pergi bekerja sebagai kuli angkut di pasar induk. Pulang dengan baju basah keringat dan punggung pegal. Aira, sementara itu, memutuskan berhenti dari toko roti milik keluarganya. Bukan karena ia tak mau, tapi karena ibunya melarang keras Aira datang ke sana lagi setelah menikah tanpa restu.
Sisa tabungan Aira disimpan rapi dalam kaleng biskuit. Mereka mulai menghitung hari, bukan dengan kalender, tapi dengan berapa banyak mie instan tersisa di rak.
Namun, bukan hanya soal ekonomi yang mulai menguji mereka. Ada hal-hal kecil yang perlahan menjadi ganjalan.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita tentang keluargamu?” tanya Badai suatu malam.
Aira yang tengah mencuci piring menoleh, “Kamu juga nggak pernah tanya.”
“Aku pikir… kamu nggak nyaman.”
Aira menahan napas sejenak. “Mereka belum menerima kamu. Aku cuma… belum siap menjelaskan semuanya.”
Diam.
Badai ingin berkata: Aku juga belum tahu siapa sebenarnya kamu. Tapi ia tahan. Bukan waktunya.
⸻
Suatu sore, setelah pulang dari pasar, Badai menemukan Aira duduk di teras kecil kontrakan mereka. Matanya sembab.
“Aku tadi lewat toko roti,” katanya tanpa menoleh. “Ada yang baru kerja di sana. Gantikan aku.”
Badai duduk di sampingnya. Tak berkata apa-apa. Hanya menatap langit yang mulai mendung lagi.
“Kadang aku ngerasa… salah ambil jalan,” lanjut Aira. “Tapi kalau aku mundur, aku kehilangan diriku sendiri. Dan kalau aku maju, aku takut kehilangan semua yang dulu.”
Badai mengangguk pelan. “Kita sama. Aku pun nggak tahu harus ke mana. Tapi yang pasti, aku nggak mau jalan ini sendirian.”
Hujan turun lagi malam itu. Dan seperti sebelumnya, mereka menampung air dari atap bocor sambil saling menatap dalam diam. Kadang cinta tak datang dengan pelukan atau pujian, tapi dari caramu menampung luka satu sama lain tanpa saling menyalahkan.
⸻
Tapi tak semua luka bisa sembuh hanya dengan sabar. Ada malam-malam yang terlalu sunyi. Ada pagi-pagi yang terlalu dingin. Dan ada jarak yang pelan-pelan tumbuh, bukan karena mereka saling menjauh, tapi karena dunia yang mereka tinggalkan belum sepenuhnya melepaskan.
Dan seperti atap kontrakan yang bocor, mereka tahu: kalau tak segera diperbaiki, hujan berikutnya bisa saja merusak segalanya.
dan seperti luka lama yang tak pernah benar-benar mengering, rasa ragu mulai menyusup di sela-sela cinta mereka. Badai merasakannya ketika pulang lebih malam dari biasanya, membawa sisa lelah yang tak bisa dibagi, sedangkan Aira mulai jarang bicara, seolah sedang menimbang sesuatu yang tak pernah ia ucapkan.
Malam-malam mereka semakin sunyi. Obrolan berubah menjadi gumam, dan gumam berubah jadi diam. Hanya bunyi tetes air dari atap yang mengisi ruang di antara mereka.
Pada suatu malam, saat hujan deras mengguyur dan listrik padam, Badai duduk di dekat jendela sambil menatap jalanan becek di luar. Ia mendengar langkah Aira mendekat, membawa lilin yang berkelap-kelip kecil. Wajahnya pucat, matanya sembab.
“Aku kangen rumah,” bisik Aira.
Badai tak menoleh. “Aku juga.”
“Apa kamu nyesal?”
Pertanyaan itu menggantung, seperti asap lilin yang pelan-pelan menghilang. Badai ingin bilang tidak. Tapi lidahnya kelu.
Aira memandang lilin di tangannya. “Kadang aku bertanya-tanya… kita ini saling mencintai atau cuma saling mengandalkan?”
Lalu, untuk pertama kalinya dalam minggu-minggu terakhir, Badai menggenggam tangan Aira. Kuat. Penuh luka. Tapi juga masih dengan harapan.
“Kita bertahan, bukan karena semuanya baik-baik saja,” katanya, “tapi karena kita nggak mau saling pergi.”
Dan malam itu, meski hujan tak berhenti dan atap masih bocor, untuk sesaat mereka merasa dunia memberi mereka ruang kecil untuk bernapas.
Namun, seperti yang mereka tahu sejak awal: cinta tak cukup. Dan rumah yang bocor, jika tak diperbaiki, bisa jadi tenggelam perlahan.
Komentar
Posting Komentar