Kota ini sunyi dengan cara yang berbeda dari
kampung kita.
Langitnya lebih sibuk, jalannya lebih bising,
tapi kesepianku tetap sama.
Aku pergi bukan karena ingin lari. Tapi karena
aku harus.
Karena di tempat kita dulu, aku hanya dikenal
sebagai “anak itu”—anak dari kegagalan, dari
luka-luka yang tak pernah diminta.
Di kota asing ini, aku belajar menyebut
namaku sendiri: Badai.
Dan di tengah reruntuhan cinta, aku bertemu
seseorang yang membuatku ingin membangun
sesuatu.
Namanya Aira.
Kalau kau bertanya kenapa aku jatuh cinta
padanya, aku tak bisa menjelaskan. Tapi aku
tahu, di matanya, aku bukan sekadar masa
lalu.
Dia melihat masa depan yang bahkan aku
sendiri tak berani bayangkan.
Kota ini sunyi dengan cara yang berbeda dari
kampung kita.
Langitnya lebih sibuk, jalannya lebih bising,
tapi kesepianku tetap sama.
Aku pergi bukan karena ingin lari. Tapi karena
aku harus.
Karena di tempat kita dulu, aku hanya dikenal
sebagai “anak itu”—anak dari kegagalan, dari
luka-luka yang tak pernah diminta.
Di kota asing ini, aku belajar menyebut
namaku sendiri: Badai.
Dan di tengah reruntuhan cinta, aku bertemu
seseorang yang membuatku ingin membangun
sesuatu.
Namanya Aira.
Kalau kau bertanya kenapa aku jatuh cinta
padanya, aku tak bisa menjelaskan. Tapi aku
tahu, di matanya, aku bukan sekadar masa
lalu.
Dia melihat masa depan yang bahkan aku
sendiri tak berani bayangkan.
Komentar
Posting Komentar