NOVEL Pernikahan yang Tak DIrayakan

Posted by RUANG TULIS, Released on

Option

 



“Saya tak berniat menjauhkan Aira dari keluarga. Saya hanya ingin memperjuangkannya dengan cara yang saya bisa.”


———

Hujan turun sejak pagi. Tidak deras, hanya rintik yang rapat, seolah langit menyimpan tangis yang terlalu ragu untuk benar-benar pecah.

Badai berdiri di depan toko roti, basah kuyup meski telah memakai jaket lusuh. Pintu kaca berembun. Di baliknya, aroma kayu manis dan mentega hangat menusuk hidungnya, menyusup ke dalam dadanya yang masih sesak oleh kata-kata beberapa hari lalu.

Ia membuka pintu perlahan, lonceng di atasnya berdenting nyaring, seolah mengejek keheningan di antara mereka.

Aira sedang menyusun roti di etalase. Tak menoleh. Tak menyapa. Tapi tangannya sedikit gemetar saat mengambil nampan berikutnya.

“Aku… harusnya nggak marah begitu,” kata Badai akhirnya, suaranya serak.

Tak ada balasan. Hanya dentingan halus nampan di atas kaca.

“Aku cuma nggak mau kelihatan kecil di matamu.”

Aira menarik napas dalam-dalam. Lalu menatap Badai, matanya letih tapi tak keras. “Kamu nggak kecil. Tapi keras kepala kadang bikin kamu jauh.”

Badai menunduk. Pandangannya jatuh pada dua gelas kosong di atas rak sudut, bekas tamu atau mungkin pelanggan yang sudah pergi. Entah kenapa, benda itu membuat dadanya makin berat.

“Aku datang bukan cuma buat minta maaf,” katanya, kali ini menatap Aira. “Aku datang karena… aku nggak bisa tidur kalau kamu masih marah.”

Aira akhirnya meletakkan nampan, menghapus sisa tepung di tangannya dengan celemek, lalu berjalan ke arah belakang meja. “Mau teh?”

“Kalau kamu buatkan,” jawab Badai pelan.

Tak ada pelukan. Tak ada genggaman tangan. Tapi saat Aira menyodorkan secangkir teh panas, ada semacam kesepakatan diam-diam di antara mereka—untuk tetap tinggal dalam percakapan ini, dalam ruang ini, meski dunia luar seolah menolak keberadaan mereka bersama.

“Masih mau kerja di pelabuhan?” tanya Aira, sambil menyeruput tehnya sendiri.

“Masih. Tapi kalau kamu kenal orang yang bisa bantu aku kerja di tempat lain… mungkin aku siap dengar,” jawab Badai, menahan senyum kecil.

Aira mengangkat alis. “Kamu bilang yakin banget sama pelabuhan?”

“Yakin itu besar. Tapi kehilangan kamu… rasanya lebih besar.”

Untuk pertama kalinya Aira tersenyum. Kecil. Tapi cukup untuk menghangatkan ruang toko yang dingin oleh hujan dan hati yang baru belajar saling memahami.

“sungguh aku ingin menua bersamamu” ucapku.
perkataan ku sudah mulai aneh, karena aku tidak sanggup larut dalam kesaharian tanpa melihat aira.

“aku sudah lama menginginkan itu, hanya saja kamu tidak peka akan hal itu”
kamu tahu, aku melarangmu bekerja di pelabuhan agar kamu bisa bersamaku untuk membesarkan toko kue sederhana ini”

aku terharu, meraskan ketulusan yang dia sampaikan, aku tak berfikir arah obrolan kami yang sudah mulai serius. dan untuk pertama kalinya aira menceritakan tentang keluarganya membuat canggungku kembali terasa. merasakan jurang perbedaan yang semakin dalam namun dalam hati, aku tak ingin kehilangan lagi.

Hujan sudah reda ketika Badai keluar dari toko roti itu. Langit masih kelabu, tapi hatinya sedikit lebih terang. Aira tak memintanya untuk menyerah. Ia hanya ingin berjalan bersama, meski di jalan yang belum tentu rata. Itu sudah lebih dari cukup.

Namun, belum genap tiga hari setelah percakapan itu, badai yang lain datang—kali ini bukan dari dalam diri Badai, melainkan dari luar. Tepatnya, dari sebuah ruang tamu yang dipenuhi wangi melati dan tatapan tajam seorang perempuan paruh baya dengan kebaya cokelat dan kerudung rapi. Ibu Aira.

untuk pertama kalinya aku datang ke rumah aira yang tidak sesederhana aira yang kukenal di toko roti tempat kami bercerita. aku sudah bulatkan tekad. dan aku harus menerjang tingginya tembok perbedaan ini.

“Jadi ini anak rantau yang membuat anakku lupa siapa dirinya?” ucap perempuan itu, tanpa basa-basi, tanpa senyum.

Badai menunduk. “Saya tak berniat menjauhkan Aira dari keluarga. Saya hanya ingin memperjuangkannya dengan cara yang saya bisa.”

Ibu Aira mendengus, “Dengan kerja kasar dan hidup di kontrakan sempit?”

“Ibu…” Aira mencoba menengahi, tapi suaranya lemah.

“Aku tidak melarangmu menikah,” lanjut sang ibu, suaranya berubah tenang namun dingin. “Tapi jangan harap akan ada restu dariku jika kau tetap bersikeras dengan keputusan ini.”

Aira diam. Matanya mencari Badai. Dan Badai, meski tubuhnya terasa seperti dihantam gelombang, berdiri dan berkata, “Saya tidak meminta pesta. Saya tidak menuntut harta. Tapi izinkan kami menikah, dengan atau tanpa restu. Karena yang kami kejar bukan kemewahan, tapi keberkahan.”

Dan entah karena keteguhan Badai, atau karena hati ibu yang tahu batas untuk menahan, akhirnya sebuah kalimat keluar lirih dari bibir sang ibu:

“Lakukan sesukamu. Tapi jangan harap aku akan datang.”

Ayah aira yang saat itu sepertinya memahami, hanya menatap dengan iba kepadaku. namun aku melihat restu yang tulus atas keberanianku lewat anggkan kepalalanya kepadaku.


Pernikahan dilangsungkan di sebuah mushola kecil di pinggir kota, dengan saksi dua sahabat lama yang ditemui Badai di masjid: Ustadz Malik dan Pak Ahmad, penjaga toko kelontong. Ustadz Malik-lah yang menghubungkan mereka dengan penghulu. Segalanya berlangsung sederhana—tidak ada gaun putih, tidak ada pelaminan, tidak ada kamera.

Namun ijab kabul itu dilafalkan dalam satu tarikan napas. Jelas. Tegas.

Saat tangan Badai menggenggam tangan ayah aira, dan lafaz akad itu selesai diucapkan, Aira menunduk dengan mata berkaca-kaca. Ia menangis tanpa suara, dan di pipinya, jatuh air mata yang entah karena bahagia atau karena luka yang belum benar-benar sembuh.

ayah aira dengan. senyuman tulus, dan menahan tangis, saat itu. beliau merupakan sahabat lama ustadz malik. sebagai wali nikah aira, ayah aira hanya berharap tidak terjadi permasalahan besar setelah ini.

Ustadz Malik menghampiri kami usai akad, tersenyum tipis.

“Kalian mungkin tidak disambut dunia, tapi semoga disambut langit.”

Badai dan Aira hanya mengangguk. Di luar, hujan kembali turun rintik-rintik. Seperti pagi itu di toko roti. Tapi kali ini, mereka tidak sendiri.

Mereka tak merayakan pernikahan itu. Tapi dalam sunyi, mereka menyelamatkan cinta yang hampir retak oleh gengsi dan prasangka.

Dan itu, mungkin lebih sakral dari pesta mana pun..

Komentar

Komentar

Options

Not work with dark mode
Reset