“Setiap cinta membawa riwayat; memahami adalah bentuk tertinggi dari mencintai”
Diam-diam tanpa bercerita aku menerima tawaran pekerjaan di pelabuhan bandar utara tanpa kuceritakan kepada aira. ternyata hasilnya yak seperti yang ku bayangkan.
aku tetap harus melwati serangkaian tes, di pelabuhan tempat pak narto bekerja.
sore itu, aku datang membawa baju kerja yang kusut. Hari itu aku tes pekerjaan di pelabuhan, yang nyatanya hanya sebagai buruh angkut atau kuli, bukan staf seperti yang kubayangkan. Tapi penjaga pos menertawakanku—katanya aku terlalu kurus, terlalu sopan untuk dunia kasar seperti itu.
Saat kuceritakan pada Aira, ia diam lama. Lalu berkata, “Kau tidak harus kerja di tempat seperti itu, Badai.”
“Aku harus kerja di tempat mana lagi?” tanyaku, nyaris marah. “Ini kota asing. Aku bukan siapa-siapa.”
Aira menatapku dalam. “Kalau kau mau, aku bisa bantu.”
Aku langsung berdiri. “Tidak. Aku datang ke kota ini bukan untuk dikasihani.”
“Tapi itu bukan kasihan,” katanya. “Aku hanya… ingin kau tidak lelah sendirian.”
Tapi aku sudah berjalan pergi sebelum ia selesai bicara.
⸻
Semakin sering kami bertemu, semakin terasa bahwa dunia kami tak sama. aku pergi dengan kesal sore itu. entah apa yang ada dibenakku.
Aku—seorang perantau dari sumatera terbiasa hidup dari sisa-sisa rejeki yang kutemukan di sudut-sudut kota. Dan Aira, meskipun menyembunyikan asalnya, tak bisa sepenuhnya menutupi bahwa ia lahir dari dunia yang tertata dan terang.
Ia menyukai musik klasik—Debussy, Chopin, dan sesekali Ghibli Soundtrack. Sedangkan aku lebih sering mendengarkan lagu-lagu lama dari radio bekas yang kadang mendesis di tengah syair.
Ia menata hidupnya seperti mengatur rak roti di pagi hari—rapi, bersih, dan beraroma harapan.
Sedangkan aku, hidup seperti angin—datang tak tentu arah, dan kadang pulang dalam keadaan remuk.
Tapi anehnya, kami saling mendekat.
Aku teringat ketika Aira membacakan buku puisi sambil membuatkan kopi. Ia senang mengutip baris-baris Chairil atau Sapardi, lalu menatapku seperti bertanya, “Kau pernah merasa begini?”
Dan aku hanya mengangguk. Karena di hadapannya, aku sering kehilangan kata.
Namun lambat laun, sesuatu berubah
⸻
Di sinilah perbedaan mulai tumbuh jadi jurang.
Aku tidak tahu bagaimana cara menerima kebaikan tanpa merasa kecil. Ia tidak tahu bagaimana cara mencintai tanpa menawarkan bantuan.
Hari-hari berikutnya berjalan canggung. Aku masih datang ke toko, tapi kami lebih banyak diam. Bahkan ketika Aira menyapaku dengan senyum yang sama, aku merasa sedang diuji—apakah aku cukup layak untuk mencintai perempuan sepertinya?
Malam itu, aku menulis di kamar kontrakan kecilku:
“Cinta seharusnya membuat kita lebih ringan, bukan lebih merasa tidak cukup. Tapi kenapa aku merasa seperti bayangan di sisimu, Aira—yang kau pandang, tapi tak pernah benar-benar kau peluk?”
⸻
Di suatu malam menjelang hujan, Aira menatapku dan berkata, “Aku tahu kau menjauh.”
Aku menggeleng. “Aku hanya sedang… mencoba menerima kenyataan.”
“Apa kenyataan itu?” tanyanya.
“Bahwa mungkin, kamu bukan untukku.”
Hening menyayat di antara kami. Lalu Aira berkata pelan, “Kalau kamu terus berpikir seperti itu, kamu tidak akan pernah tahu siapa yang benar-benar untukmu.”
Ia berbalik masuk ke dalam toko. Meninggalkanku di luar dengan dada yang sesak.
⸻
Dan sejak hari itu, rindu kami punya bentuk: diam.
Perbedaan-perbedaan kecil yang dulu terasa lucu, kini menjadi dinding. Tapi anehnya, aku masih mencintainya. Dengan segala kerumitannya. Dengan rahasia yang masih belum ia bagi.
Yang kutahu, cinta ini sedang diuji. Bukan oleh pertengkaran atau pengkhianatan. Tapi oleh dua dunia yang tak tahu bagaimana cara bertemu tanpa saling menghakimi.
Dan mungkin, inilah awal dari perlawanan yang akan kami hadapi.
Komentar
Posting Komentar