“Kadang kehilangan bukan akhir, tapi pintu sunyi menuju kekuatan yang tak pernah diminta”
2/15
Aku masih ingat hari itu. Hujan turun sejak pagi, deras tanpa jeda, seperti mencerminkan isi hati ibuku. Aku duduk di sudut rumah, memeluk lutut, mendengarkan suara-suara yang seharusnya tak didengar anak seusia tujuh tahun.
"Aku lelah, Bu! Aku lelah hidup seperti ini!"
Itulah suara ayah. Bentakannya menggema di antara dinding bambu yang tipis. Ibuku tak membalas dengan teriakan. Ia menangis—seperti biasa. Tapi hari itu berbeda. Tangisannya terdengar seperti keputusan. Seolah ia telah selesai mencoba.
Beberapa hari kemudian, aku melihat ayah pergi membawa dua karung besar dan satu ransel butut. Tak ada pelukan. Tak ada pamit yang pantas. Hanya lirikan singkat ke arahku yang tak bisa kutafsirkan.
Aku resmi menjadi anak dari orang tua yang berpisah.
Setelah perceraian itu, ibuku tak mampu lagi mengurusku seorang diri. Ekonomi keluarga benar-benar runtuh. Dengan berat hati, aku dikirim ke rumah paman di kota lain. Aku masih kelas 4 SD saat itu. Jarak antara rumah kami dan tempat paman sangat jauh. Bukan hanya secara geografis, tapi juga emosional.
Rumah paman besar, tapi dingin. Ia adalah adik ibu, seorang pegawai negeri. Istrinya, tanteku, tak terlalu suka dengan kehadiranku. Aku bisa merasakannya dari tatapan matanya sejak hari pertama aku menginjakkan kaki di sana.
Aku tak berani banyak bicara. Setiap kali aku rindu ibuku, aku sembunyikan dalam bantal. Aku menulis surat tapi jarang sekali mendapat balasan. Ibuku terlalu sibuk bekerja serabutan agar tetap bisa hidup.
Di sekolah baru, aku anak asing. Logatku berbeda, pakaianku sederhana, dan aku sering diam. Anak-anak seusiaku suka mengejek. Mereka bilang aku anak kampung, tak tahu apa-apa. Aku belajar menahan air mata, menahan lapar, dan menahan rindu.
Kadang aku bertanya, apakah ini bagian dari rencana Tuhan? Apakah ini jalan hidup yang harus kulewati untuk menjadi kuat? Tapi waktu itu, semua terasa terlalu gelap untuk dilihat sebagai bagian dari rencana.
Hari-hari berjalan lambat. Aku belajar diam-diam, membaca buku pinjaman dari perpustakaan, dan mencatat banyak hal dalam hati. Aku tahu, jika ingin bertahan, aku harus menyimpan kekuatan. Aku harus percaya bahwa semua ini tidak akan selamanya.
Dan benar. Ini bukan akhir.
Ini adalah awal dari semua luka yang membentukku menjadi seseorang yang berbeda kelak.
Bab selanjutnya akan membawamu ke masa SMP-ku, masa di mana tubuhku mulai tumbuh tapi jiwaku justru tercabik oleh kekerasan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Support aku dengan download Novel Lengkap pada link berikut
https://lynk.id/dhebzky/zwk03eyv08jr
Komentar
Posting Komentar