“Hidup tak pernah berhenti menguji, tapi aku pun tak akan berhenti berjuang.”
3/15
Waktu terus berputar, seperti roda pedati yang tak henti berjalan. Tahun-tahun berlalu sejak aku pertama kali tinggal bersama paman. Kini aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Masa transisi yang katanya indah—tempat mengenal jati diri, sahabat sejati, dan mimpi masa depan. Namun bagiku, masa SMP justru menjadi babak baru dari luka yang tak tampak.
Hari pertama sekolah aku jalani dengan rasa canggung. Aku masuk ke ruang kelas dengan langkah ragu. Seragamku lusuh, sepatu pinjaman dari anak paman yang kebesaran, dan rambut yang dipotong asal oleh tetangga. Aku menjadi pusat perhatian, bukan karena prestasi, tapi karena tampilan yang berbeda dari anak-anak lain.
"Itu anak kampung yang tinggal sama pamannya, ya?" bisik seseorang.
"Iya, bajunya saja kayak bekas..."
Cibiran itu bukan hanya berhenti di hari pertama. Hari-hari berikutnya, aku kerap menjadi sasaran ejekan dan olok-olok. Julukan seperti "Si Nestapa dari Ladang", "Anak Tak Diinginkan", dan "Si Tambahan Beban" seolah menjadi nama panggilan keduaku. Aku hanya bisa diam. Menangis pun rasanya percuma. Tak ada yang akan peduli.
Namun yang paling menyakitkan bukanlah ejekan. Tapi perlakuan kasar dari beberapa teman sekelasku. Buku dilempar, sepatu disembunyikan, bahkan aku pernah dikurung di kamar mandi saat jam istirahat. Saat aku mencoba melapor pada guru, aku justru dianggap mencari perhatian.
"Kamu laki-laki, jangan cengeng! Hadapi sendiri kalau diganggu!"
Kalimat itu terekam dalam ingatanku hingga kini. Laki-laki, katanya, tak boleh menangis. Tapi bagaimana jika air mata adalah satu-satunya pelarian dari luka yang tak bisa dijelaskan?
Di rumah, aku tak berani bercerita. Paman terlalu sibuk bekerja, tanteku lebih peduli pada anaknya sendiri. Aku menyimpan semuanya rapat-rapat, dan mulai menciptakan dunia khayalku sendiri. Aku menulis. Di atas kertas-kertas sobek bekas buku tulis, aku mencurahkan segalanya. Rasa sakit, marah, bahkan doa-doa yang tak pernah terucap.
Dari kekerasan itu, aku belajar satu hal: bertahan. Bertahan bukan berarti lemah. Tapi karena aku tahu, suatu saat, aku akan tumbuh menjadi lebih kuat.
Aku mulai menghindari konflik, dan menenggelamkan diri dalam belajar. Aku sadar, hanya pendidikan yang bisa menyelamatkanku. Hanya ilmu yang bisa membawaku keluar dari gelapnya masa lalu.
Dan di tengah kabut itu, aku mulai menyalakan satu lilin kecil dalam hati: harapan.
Aku percaya, luka ini akan menguatkanku. Bukan hari ini, mungkin bukan besok, tapi suatu saat nanti. Aku akan buktikan pada dunia—bahwa dari ladang nestapa, akan lahir sosok yang tak mudah hancur oleh badai.
Support aku dengan download Novel Lengkap pada link berikut
https://lynk.id/dhebzky/zwk03eyv08jr
Komentar
Posting Komentar