"Aku memaafkan bukan untuk dia, tapi demi jiwaku yang ingin pulih"
Suatu pagi, saat membuka kotak masuk email, aku menemukan satu pesan yang membuat jantungku berdegup kencang. Pengirimnya: Ayah.
Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, setelah semua luka dan pertanyaan yang tak pernah terjawab, tiba-tiba ia hadir. Sederhana saja isi pesannya: "Nestapa, jika kau masih menganggapku ayahmu, aku ingin bertemu. Aku ingin meminta maaf."
Kupandangi layar itu lama. Emosi dalam diriku berkecamuk. Antara amarah yang belum benar-benar padam dan kerinduan seorang anak yang tak pernah sepenuhnya mati. Aku tak langsung membalas. Aku butuh waktu.
Hari-hari berikutnya, bayangan masa kecil kembali menghampiri. Wajah ayah yang keras. Kata-kata yang dulu menyakitkan. Tangan yang pernah mengayun bukan untuk membelai, tapi untuk menyakiti. Tapi juga ada kenangan samar: saat ia menggendongku saat kecil, atau memandikanku di sungai. Luka itu tak sepenuhnya gelap.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menemuinya. Di sebuah warung kopi kecil di kota tempat ia tinggal kini, kami bertemu. Ia tampak jauh lebih tua dari ingatanku. Mata yang redup. Suara yang pelan.
"Maafkan ayah, Ra," katanya lirih. "Ayah terlalu tenggelam dalam amarah dan ketidakmampuan. Ayah bukan hanya gagal sebagai suami, tapi juga sebagai ayah."
Aku tak langsung menjawab. Aku hanya menatapnya. Tapi air mataku jatuh juga. Bukan karena amarah, tapi karena beban bertahun-tahun akhirnya menemukan celah untuk keluar.
"Aku sudah lama memaafkan, Yah," kataku. "Tapi hari ini aku benar-benar melepaskannya. Bukan untuk ayah, tapi untuk diriku sendiri."
Kami berbincang lama hari itu. Tak semua luka sembuh dalam sekali pertemuan. Tapi langkah awal itu lebih berharga daripada seribu penyangkalan. Sejak hari itu, kami mulai perlahan membangun kembali hubungan yang sempat retak parah.
Dan aku belajar satu hal: memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi memberi kesempatan bagi hati untuk sembuh.
Support aku dengan download Novel Lengkap pada link berikut
https://lynk.id/dhebzky/zwk03eyv08jr
"Aku memaafkan bukan untuk dia, tapi demi jiwaku yang ingin pulih"
Suatu pagi, saat membuka kotak masuk email, aku menemukan satu pesan yang membuat jantungku berdegup kencang. Pengirimnya: Ayah.
Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, setelah semua luka dan pertanyaan yang tak pernah terjawab, tiba-tiba ia hadir. Sederhana saja isi pesannya: "Nestapa, jika kau masih menganggapku ayahmu, aku ingin bertemu. Aku ingin meminta maaf."
Kupandangi layar itu lama. Emosi dalam diriku berkecamuk. Antara amarah yang belum benar-benar padam dan kerinduan seorang anak yang tak pernah sepenuhnya mati. Aku tak langsung membalas. Aku butuh waktu.
Hari-hari berikutnya, bayangan masa kecil kembali menghampiri. Wajah ayah yang keras. Kata-kata yang dulu menyakitkan. Tangan yang pernah mengayun bukan untuk membelai, tapi untuk menyakiti. Tapi juga ada kenangan samar: saat ia menggendongku saat kecil, atau memandikanku di sungai. Luka itu tak sepenuhnya gelap.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menemuinya. Di sebuah warung kopi kecil di kota tempat ia tinggal kini, kami bertemu. Ia tampak jauh lebih tua dari ingatanku. Mata yang redup. Suara yang pelan.
"Maafkan ayah, Ra," katanya lirih. "Ayah terlalu tenggelam dalam amarah dan ketidakmampuan. Ayah bukan hanya gagal sebagai suami, tapi juga sebagai ayah."
Aku tak langsung menjawab. Aku hanya menatapnya. Tapi air mataku jatuh juga. Bukan karena amarah, tapi karena beban bertahun-tahun akhirnya menemukan celah untuk keluar.
"Aku sudah lama memaafkan, Yah," kataku. "Tapi hari ini aku benar-benar melepaskannya. Bukan untuk ayah, tapi untuk diriku sendiri."
Kami berbincang lama hari itu. Tak semua luka sembuh dalam sekali pertemuan. Tapi langkah awal itu lebih berharga daripada seribu penyangkalan. Sejak hari itu, kami mulai perlahan membangun kembali hubungan yang sempat retak parah.
Dan aku belajar satu hal: memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi memberi kesempatan bagi hati untuk sembuh.
Support aku dengan download Novel Lengkap pada link berikut
Komentar
Posting Komentar