“Titik terendah adalah tempat terbaik untuk membangun kekuatan dari dasar”
Aku masih ingat jelas hari itu. Aku baru lulus kuliah, penuh semangat dan ambisi. Berbekal ijazah dan selembar rekomendasi dari dosen pembimbingku, aku merantau ke kota yang lebih besar, menjajal kerasnya dunia kerja. Tujuanku jelas: membantu keluarga, mengangkat derajat hidup, dan membuktikan bahwa anak desa juga bisa berdiri di tengah kota.
Seorang kenalan lama menghubungiku lewat pesan singkat, menawarkan pekerjaan di sebuah perusahaan distribusi logistik. "Gajinya lumayan, tempat tinggal disediakan," katanya. Aku percaya, tanpa banyak tanya. Mungkin karena aku terlalu ingin cepat berhasil. Atau karena aku belum cukup belajar bahwa dunia tidak sebaik hati ibu.
Saat tiba di kota, semuanya tidak seperti yang dijanjikan. Tempat tinggal yang dimaksud ternyata adalah ruangan sempit tanpa ventilasi. Pekerjaan yang dijanjikan ternyata bukan di kantor, melainkan sebagai tenaga angkut di gudang. Bahkan, setelah sebulan bekerja tanpa hari libur, aku tidak menerima bayaran sepeser pun. Setiap kali kutanya, mereka bilang, "Sebentar lagi cair."
Hingga suatu hari, saat kembali dari shift malam, tempat itu kosong. Tak ada siapa-siapa. Gudang gelap, pintu tergembok, dan semua orang yang kukenal sudah pergi. Aku ditipu. Aku ditinggalkan. Di kota asing, tanpa uang, tanpa tempat tinggal, dan nyaris tanpa harapan.
Aku tidur di masjid selama dua minggu. Mandi di toilet umum. Makan dari sisa nasi bungkus para dermawan yang menyumbang ke masjid. Rasanya seperti jatuh lebih dalam dari titik terendah hidupku. Tapi anehnya, aku tidak menyerah. Setiap pagi aku tetap bangun, tetap menulis di buku kecilku, tetap berdoa dengan penuh harap.
Suatu sore, seorang bapak paruh baya—takmir masjid—menyapaku.
"Kamu kerja di mana, Nak?"
Aku terdiam. Tapi ia menatapku dengan penuh iba. Ia tidak menghakimi. Ia hanya berkata, "Kalau mau, ikut saya. Saya butuh orang buat bantu-bantu di kios buku."
Dari sanalah aku bangkit. Bekerja di kios buku kecil di pasar tradisional, aku mulai mengumpulkan sisa-sisa harga diriku. Aku membaca buku-buku yang dijual, memperluas wawasan, dan perlahan mulai menulis lagi. Dari hasil kerja di sana, aku menyewa kamar kos kecil dan mulai melamar kerja ke kantor-kantor yang lebih layak.
Butuh waktu hampir setahun, tapi akhirnya aku diterima di sebuah kantor hukum. Dari bawah, sebagai staf magang tanpa bayaran. Tapi aku bersyukur. Aku belajar lagi, dari nol. Dan luka yang dulu terasa seperti kutukan, kini kupahami sebagai ujian.
Aku ditempa bukan untuk dihancurkan, tapi untuk dibentuk. Seperti besi yang ditempa api, agar menjadi pedang.
Support aku dengan download Novel Lengkap pada link berikut
https://lynk.id/dhebzky/zwk03eyv08jr
Komentar
Posting Komentar