“Terkadang orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling membuat kita merasa sendirian.”
SMA adalah masa di mana banyak orang berkata bahwa segalanya terasa lebih hidup. Tawa, tangis, persahabatan, hingga cinta pertama. Namun bagiku, cinta di masa SMA bukanlah kisah manis seperti dalam film remaja. Cintaku hadir dalam bentuk ujian, yang mengajarkan bahwa kasih tak selalu berbalas indah.
Namanya Ayunda. Dia duduk di bangku yang sama denganku, kelas sebelas. Wajahnya teduh, senyumnya menenangkan. Dia bukan sekadar cantik, tapi juga ramah dan cerdas. Ayunda seperti matahari pagi di antara kelabu hari-hariku.
Aku mengenalnya lewat kerja kelompok. Dari situ, kami mulai sering berkomunikasi. Tak jarang, dia meminjam bukuku, menanyakan soal pelajaran, atau hanya sekadar menyapa di lorong sekolah. Hati yang lama beku perlahan mencair.
Aku tak berani berharap banyak. Siapa aku dibanding dia? Aku hanyalah anak dari kampung yang hidup pas-pasan, sering diejek karena pakaian sederhana, dan masih menyimpan luka dari masa lalu. Tapi Ayunda… dia memperlakukanku seperti aku layak dihargai.
Suatu hari, aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku lewat sepucuk surat. Bukan surat cinta yang penuh rayuan, hanya ungkapan rasa kagum dan terima kasih karena dia telah membuatku merasa tidak sendirian.
Keesokan harinya, surat itu kembali. Tapi bukan melalui tangannya. Beberapa anak laki-laki membacakan suratku di tengah lapangan sekolah, mengejek kalimat-kalimatku sambil tertawa. Ayunda hanya berdiri di kejauhan. Diam.
Tak ada pembelaan. Tak ada kata maaf. Hanya tatapan iba yang menyayat hati.
"Kamu pikir siapa kamu? Mau sama Ayunda? Mimpi!"
Kata-kata itu membekas. Lebih dalam dari luka fisik yang pernah kudapat.
Hari-hari setelah kejadian itu, aku menarik diri. Aku merasa bodoh telah percaya pada kebaikan yang sejenak menyapa. Cinta pertamaku berubah menjadi aib yang selalu dibicarakan di belakang. Aku jadi bahan olok-olok, lagi.
Namun dari perih itu, aku belajar satu hal lagi: cinta tak selalu berpihak, tapi itu tak membuatku berhenti berharap. Aku mulai menyadari, bukan Ayunda yang salah. Bukan juga cinta yang salah. Tapi mungkin waktu dan tempatnya yang belum tepat.
Aku kembali tenggelam dalam buku, belajar lebih giat, membangun masa depan yang mulai terasa seperti bayangan yang bisa kugapai. Cinta membuatku kecewa, tapi juga menyadarkanku untuk lebih mencintai diri sendiri. Menyembuhkan luka-luka lama, bukan dengan membenci, tapi dengan memaafkan.
Dan sejak saat itu, aku berjanji, jika suatu saat aku mencintai lagi, itu bukan karena aku butuh pelarian, tapi karena aku telah utuh.
Support aku dengan download Novel Lengkap pada link berikut
Komentar
Posting Komentar